Prof. Nyoman Suparta (Ketua DPD HKTI Bali) |
ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN, WUJUD
EROSI KULTURALISME
Alih
Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan
pertanian antara tahun 1997-2007 telah terjadi sekitar 661 hektar atau sekitar
0,8% per tahun. Lahan tersebut kebanyakan difungsikan untuk fasilitas
pariwisata yakni hotel, restoran, villa,
serta pembangunan perumahan, perkantoran, industri, dll. Disamping itu, alih fungsi lahan juga telah
terjadi pada kawasan perkebunan atau tegalan
dan kehutanan. Banyak lahan kebun
atau tegalan yang berubah fungsi menjadi bangunan perumahan, bangunan
peternakan, villa, atau menjadi tanaman industri yang jangka pendek yang daya
resap airnya sangat kurang.
Bila kondisi tersebut
dibiarkan tanpa kendali, maka dapat mengakibatkan degradasi sumber daya lahan
dan air, semakin melemahnya daya saing
petani, rendahnya efisiensi usaha, lemahnya pemasaran hasil, kurangnya
keseriusan dan kemandirian petani, dan lemahnya penegakan hukum. Status
kehidupan petani akan semakin terpuruk, dan mereka pasti akan mencari mata
pencaharian lainnya. Itulah sebabnya yang tinggal kini hanya petani sambilan
yang senantiasa meratapi kemiskinannya.
Alih
Profesi
Bila
profesi sebagai petani tidak lagi menjamin kehidupan yang layak, maka generasi
muda anak petani tentu akan berpikir untuk melanjutkan profesi orang tuanya.
Bila ada profesi lain yang mampu memberikan tingkat kehidupan yang lebih baik,
mengapa harus bertahan sebagai petani. Inilah fakta yang terjadi di Bali saat
ini.
Disisi
lain saya setuju dengan berkurangnya jumlah petani, karena akan berdampak
kepada luasnya lahan garapan petani. Semoga saja masih ada pemuda yang memang
mempunyai hobi luar biasa (gila, red) di bidang pertanian. Mereka diberi
kesempatan untuk tumbuh menjadi petani-petani profesional, petani dengan luas
garapan optimal. Pemuda lainnya yang tidak mempunyai hobi di bidang pertanian,
silahkan saja bekerja di sektor minat dan hobinya.
Persoalannya
sekarang, fasilitas apa yang mampu disiapkan oleh pemerintah kepada anak bangsa
yang mau dan mampu menekuni sektor pertanian?. Bagaimana jaminan kepastian
lahan garapan mereka? dan bagaimana pula kinerja pengolahan hasil dan pemasaran
hasil pertaniannya?
Mengapa
Terjadi Alih Fungsi Lahan
Kebijakan
struktural dan pergeseran nilai-nilai sosial ekonomi telah menimbulkan
keharusan dan keterpaksanaan bagi petani untuk menjual lahan garapannya.
Perkembangan sektor pariwisata yang berlebihan, industri, perdagangan, dll
telah menjadi andil besar atas keterpaksaan itu. Nilai Jaminan Obyek Pajak
(NJOP) yang semakin meningkat melebihi kemampuan petani untuk membayarnya,
tidak ada subsidi bagi petani pemilik lahan atas kewajiban pajaknya, sulitnya
memperoleh air irigasi, harga jual hasil yang rendah, semakin terancamnya
keberadaan subak, tersedianya peluang kerja di sektor lain, kecilnya minat
generai muda menekuni sektor pertanian, dll telah mendorong niat petani untuk
menjual lahan garapannya.
Perda
No 16 Tahun 2009, tentang RTRWP Bali
RTRWP
Bali yang telah di tetapkan menjadi Perda No 16 Tahun 2009, merupakan pedoman
penting bagi semua pihak untuk dapat melakukan kegiatan pembangunan di Bali. Kawasan pertanian dalam RTRWP Bali telah
diberikan perhatian khusus, karena disepakati bahwa pertanian merupakan spirit
dari munculnya kebudayaan Bali yang dilandasai agama Hindu. Nilai-nilai budaya
itu telah menjadi modal bagi pengembangan kepariwisataan di Bali. Namun sayang,
RTRWP itu terus diperdebatkan atas nama pemerataan pembangunan dan PAD.
Di
dalam RTRWP Bali telah jelas diatur tentang kawasan (kawasan budidaya tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan). Rencana kawasan peruntukan
pertanian seluas 298.214 ha atau 52,9% dari luas Provinsi Bali. Diantaranya kawasan tanaman pangan ditetapkan
76.337 ha atau 13,5%, kawasan hortikultura seluas 108.511 ha atau 19,3%, dan
kawasan perkebunan sebanyak 113.366 ha atau 20,1%. Sedangkan, kawasan budidaya peternakan tidak
menyediakan lahan khusus, tetapi memanfaatkan lahan yang sesuai bagi kegiatan
peternakan secara optimal, lahan kering atau kritis, lahan pekarangan, dan
perpaduan pertanian dan peternakan yang dapat menjamin supplai pakan. Bila rincian peruntukan tersebut dapat
diberlakukan, dengan catatan luas hutan dapat menjadi 30% dari luas Pulau bali,
maka kita dapat meyakini akan kelestarian Provinsi Bali di masa depan.
Larangan
Bangunan Diatas 15 meter.
Diantara
isi perda yang baik itu, ternyata ada ketentuan kontradiktif yang melarang
keras bangunan dengan ketinggian melebihi 15 meter. Larangan tersebut jelas
akan berdampak kepada perluasan pemanfaatan lahan ke samping. Bila hal itu
terus terjadi, dan ijin pertumbuhan bangunan kurang terkendali di semua
pemerintah kabupaten kota, maka dapat dipastikan lahan pertanian di Bali akan
semakin habis. Ketika lahan pertanian
semakin habis akibat alih fungsi lahan, subak semakin hancur, tatanan kehidupan
berubah total ke pragmatisme materialistis, maka disitulah erosi kulturalisme
akan terjadi. Bila kultural Bali meredup, maka cepat atau lambat sektor
pariwisata pun hanya akan tinggal kenangan.
Karena
itu, saya sebagai Ketua DPD HKTI Bali berpendapat bahwa perlu ditetapkan
kawasan bangunan yang diijinkan melebihi 15 meter. Usulan kami adalah kawasan
Tanjung Benoa, Nusa Dua dan Bukit Jimbaran yang merupakan kakinya Burung Bali.
Hanya dikawasan itulah yang boleh diijinkan bangunan melebihi 15 meter. Hanya
dikawasan itu!!! Atas konsekuensi dari kesepakatan itu, silahkanlah para
pemimpin Bali dan kabupaten Kota duduk bersama membagi kue rejekinya.
Pemerataan
pembangunan mengisyaratkan agar berlandaskan potensi ekonomi daerahnya
masing-masing. Tidak memaksakan mengembangkan
sektor pariwisata. Mesti ada koordinasi
dan sinkronisasi ekonomi antar semua kabupaten kota yang ada di Bali dalam
kerangka Manajemen Provinsi Bali. Mari selamatkan Bali dengan cara berpikir
yang jernih, paras paros selunglung sebayantaka, tidak untuk ngotot-ngototan.
Hormatilah para leluhur kita yang telah menjaga dan mewariskan Bali dengan
segala kelebihannya. Semoga.