Minggu, 18 Desember 2011

ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN, WUJUD EROSI KULTURALISME


Prof. Nyoman Suparta (Ketua DPD HKTI Bali)




ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN, WUJUD EROSI KULTURALISME

  Lahan pertanian yang diartikan sebagai tanah garapan untuk tujuan produksi pertanian kini telah semakin menyempit. Idealnya setiap KK petani dapat menggarap lahan seluas 2 hektar, namun kenyataannya kini hanya 0,35 hektar. Inilah sebuah proses pemiskinan petani. Karenanya mereka disebut petani gurem atau petani rakyat. Kondisi itu berdampak kepada ketidak berdayaan dan ketidak seriusan petani dalam menggarap lahan sawahnya. Adakah yang dapat dibanggakan untuk menjadi petani? Akankah ketahanan pangan bisa berlanjut?.
               
Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan pertanian antara tahun 1997-2007 telah terjadi sekitar 661 hektar atau sekitar 0,8% per tahun. Lahan tersebut kebanyakan difungsikan untuk fasilitas pariwisata yakni hotel, restoran, villa,  serta pembangunan perumahan, perkantoran, industri, dll.  Disamping itu, alih fungsi lahan juga telah terjadi pada kawasan perkebunan atau tegalan  dan kehutanan.  Banyak lahan kebun atau tegalan yang berubah fungsi menjadi bangunan perumahan, bangunan peternakan, villa, atau menjadi tanaman industri yang jangka pendek yang daya resap airnya sangat kurang.
Bila kondisi tersebut dibiarkan tanpa kendali, maka dapat mengakibatkan degradasi sumber daya lahan dan air,  semakin melemahnya daya saing petani, rendahnya efisiensi usaha, lemahnya pemasaran hasil, kurangnya keseriusan dan kemandirian petani, dan lemahnya penegakan hukum. Status kehidupan petani akan semakin terpuruk, dan mereka pasti akan mencari mata pencaharian lainnya. Itulah sebabnya yang tinggal kini hanya petani sambilan yang senantiasa meratapi kemiskinannya.

Alih Profesi
                Bila profesi sebagai petani tidak lagi menjamin kehidupan yang layak, maka generasi muda anak petani tentu akan berpikir untuk melanjutkan profesi orang tuanya. Bila ada profesi lain yang mampu memberikan tingkat kehidupan yang lebih baik, mengapa harus bertahan sebagai petani. Inilah fakta yang terjadi di Bali saat ini.
                Disisi lain saya setuju dengan berkurangnya jumlah petani, karena akan berdampak kepada luasnya lahan garapan petani. Semoga saja masih ada pemuda yang memang mempunyai hobi luar biasa (gila, red) di bidang pertanian. Mereka diberi kesempatan untuk tumbuh menjadi petani-petani profesional, petani dengan luas garapan optimal. Pemuda lainnya yang tidak mempunyai hobi di bidang pertanian, silahkan saja bekerja di sektor minat dan hobinya.
                Persoalannya sekarang, fasilitas apa yang mampu disiapkan oleh pemerintah kepada anak bangsa yang mau dan mampu menekuni sektor pertanian?. Bagaimana jaminan kepastian lahan garapan mereka? dan bagaimana pula kinerja pengolahan hasil dan pemasaran hasil pertaniannya?

Mengapa Terjadi Alih Fungsi Lahan
                Kebijakan struktural dan pergeseran nilai-nilai sosial ekonomi telah menimbulkan keharusan dan keterpaksanaan bagi petani untuk menjual lahan garapannya. Perkembangan sektor pariwisata yang berlebihan, industri, perdagangan, dll telah menjadi andil besar atas keterpaksaan itu. Nilai Jaminan Obyek Pajak (NJOP) yang semakin meningkat melebihi kemampuan petani untuk membayarnya, tidak ada subsidi bagi petani pemilik lahan atas kewajiban pajaknya, sulitnya memperoleh air irigasi, harga jual hasil yang rendah, semakin terancamnya keberadaan subak, tersedianya peluang kerja di sektor lain, kecilnya minat generai muda menekuni sektor pertanian, dll telah mendorong niat petani untuk menjual lahan garapannya.

Perda No 16 Tahun 2009, tentang RTRWP Bali
                RTRWP Bali yang telah di tetapkan menjadi Perda No 16 Tahun 2009, merupakan pedoman penting bagi semua pihak untuk dapat melakukan kegiatan pembangunan di Bali.  Kawasan pertanian dalam RTRWP Bali telah diberikan perhatian khusus, karena disepakati bahwa pertanian merupakan spirit dari munculnya kebudayaan Bali yang dilandasai agama Hindu. Nilai-nilai budaya itu telah menjadi modal bagi pengembangan kepariwisataan di Bali. Namun sayang, RTRWP itu terus diperdebatkan atas nama pemerataan pembangunan dan PAD.
                Di dalam RTRWP Bali telah jelas diatur tentang kawasan (kawasan budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan). Rencana kawasan peruntukan pertanian seluas 298.214 ha atau 52,9% dari luas Provinsi Bali.  Diantaranya kawasan tanaman pangan ditetapkan 76.337 ha atau 13,5%, kawasan hortikultura seluas 108.511 ha atau 19,3%, dan kawasan perkebunan sebanyak 113.366 ha atau 20,1%.  Sedangkan, kawasan budidaya peternakan tidak menyediakan lahan khusus, tetapi memanfaatkan lahan yang sesuai bagi kegiatan peternakan secara optimal, lahan kering atau kritis, lahan pekarangan, dan perpaduan pertanian dan peternakan yang dapat menjamin supplai pakan.  Bila rincian peruntukan tersebut dapat diberlakukan, dengan catatan luas hutan dapat menjadi 30% dari luas Pulau bali, maka kita dapat meyakini akan kelestarian Provinsi Bali di masa depan.

Larangan Bangunan Diatas 15 meter.
                Diantara isi perda yang baik itu, ternyata ada ketentuan kontradiktif yang melarang keras bangunan dengan ketinggian melebihi 15 meter. Larangan tersebut jelas akan berdampak kepada perluasan pemanfaatan lahan ke samping. Bila hal itu terus terjadi, dan ijin pertumbuhan bangunan kurang terkendali di semua pemerintah kabupaten kota, maka dapat dipastikan lahan pertanian di Bali akan semakin habis.  Ketika lahan pertanian semakin habis akibat alih fungsi lahan, subak semakin hancur, tatanan kehidupan berubah total ke pragmatisme materialistis, maka disitulah erosi kulturalisme akan terjadi. Bila kultural Bali meredup, maka cepat atau lambat sektor pariwisata pun hanya akan tinggal kenangan.
                Karena itu, saya sebagai Ketua DPD HKTI Bali berpendapat bahwa perlu ditetapkan kawasan bangunan yang diijinkan melebihi 15 meter. Usulan kami adalah kawasan Tanjung Benoa, Nusa Dua dan Bukit Jimbaran yang merupakan kakinya Burung Bali. Hanya dikawasan itulah yang boleh diijinkan bangunan melebihi 15 meter. Hanya dikawasan itu!!! Atas konsekuensi dari kesepakatan itu, silahkanlah para pemimpin Bali dan kabupaten Kota duduk bersama membagi kue rejekinya.
                Pemerataan pembangunan mengisyaratkan agar berlandaskan potensi ekonomi daerahnya masing-masing.  Tidak memaksakan mengembangkan sektor pariwisata.   Mesti ada koordinasi dan sinkronisasi ekonomi antar semua kabupaten kota yang ada di Bali dalam kerangka Manajemen Provinsi Bali. Mari selamatkan Bali dengan cara berpikir yang jernih, paras paros selunglung sebayantaka, tidak untuk ngotot-ngototan. Hormatilah para leluhur kita yang telah menjaga dan mewariskan Bali dengan segala kelebihannya. Semoga.

Selasa, 01 November 2011

FoR SALE

 Price 45.000 (Disc.20%)

 Price 47.000 (Disc.20%) 

 Price 49.000 (Disc.20%)